Jumat, 04 Januari 2013

Ihhh, Ada Kota Mati di Taiwan


Zaujatul Amna Afganurisfa | Mahasiswa Master Psikologi Asia University - Taiwan
Rabu, 02 Januari 2013 17:33 WIB

Bekas sekolah yang ditinggalkan di Wufong
Bekas sekolah yang ditinggalkan di Wufong
Republic of China atau yang lebih dikenal dengan sebutan Taiwan, sebuah negara di Asia Timur yang sebelumnya berbasis di daratan Cina. Negara kecil ini luasnya hanya 2/3 Aceh. Taiwan mengalami perubahan yang cukup drastis dan fantastik setelah kejadian gempa bumi 1999 dimana mereka mampu berkembang pesat dengan  dengan keberhasilan-keberhasilan yang dimilikinya.  Negara ini mampu bersaing di tingkat international dan di akui keberadaannya terutama di bidang teknologi, dimana Taiwan mampu bersaing ketat dalam bidang industri dan teknologi.

 
Dari segi ilmu pendidikan negara ini mampu berdiri sejajar dengan Negara-negara lainnya, bahkan mampu meraih rating dunia dalam tingkat pendidikan. Hal ini menjadikan Taiwan sebagai salah satu negara terpandang dan banyak diminati oleh para turis dunia yang berkunjung ke tanah Formosa itu (nama lain dari Taiwan).

Unik dan menarik, di Taiwan terdapat  dua kota yang tidak berpenduduk sama sekali dikarenakan berbagai bencana sehingga kota tersebut di tinggalkan oleh penduduknya, kemudian kota tersebut di kenal dengan sebutan “kota mati (dead city).  Di wilayah tengah negara Taiwan, terdapat sebuah kota bernama Wufong (dibaca u-fong), di salah satu kota di wilayah Wufong tersebut di kenal sebagai kota mati (dead city) yang telah di tinggal oleh para penghuninya sejak tahun 1999. Semenjak tahun 1999 pasca gempa yang berkekuatan 8.9 SR warga desa meninggalkan wilayah tersebut dan migrasi ke wilayah lainnya dengan alasan keselamatan dan psikologis yang lebih baik. Uniknya, pemerintahan Taiwan tetap merawat desa mati ini dengan dibangunkannya sebuah museum, yang dikenal dengan nama Museum Gempa (earthquake’s museum).

Di kota yang berbeda, tepatnya disebelah Utara Taiwan,  juga terdapat sebuah kota mati, tepatnya di kota San Zhi yang merupakan sebuah kawasan tempat tinggal yang futuristik.  Pada awalnya di kota tersebut direncanakan sebuah proyek untuk resort  yang mewah dan megah  bagi “kaum  kaya raya”.  Menurut warga setempat mengatakan bahwa selama proses pembangunan pernah terjadi gempa dan mengakibatkan  kecelakaan yang fatal pada masa pembangunannya, sampai akhirnya pembangunan resort tersebut benar-benar dihentikan ditengah jalan.

Di kedua tempat inilah, awal mulanya saya mengetahui banyak informasi tentang asal muasal kota mati ini. Hari itu kami beserta professor belajar langsung ke lapangan tentang penanganan psikologis pasca gempa bagi warga yang dulunya berasal dari kota mati. Mereka meninggalkan rumah lengkap dengan segala perabotannya. Ketika saya dan teman-teman sekelas berkunjung kesana, kami melihat  rumah, kios dan sebuah sekolah dasar yang telah lama di tinggal oleh para warganya. Hal ini terlihat dari bangunan yang sudah di kelilingi rumput dan serat belukar lainnya. Sekilas saya takjub dan berpikir Negara ini sungguh sangat kreatif, mampu menjadikan segala sesuatunya “menghasilkan”. Pikiran saya pun tertuju pada Nanggroe Endatu saya.

Pelajaran menarik adalah mereka mampu menghidupkan kota mati ini sebagai salah satu tempat bersejarah dan banyak di kunjungi oleh wisatawan manca Negara. Jika dilihat dari tampilan bangunan yang sudah lama, sunyi, menakutkan dan terkesan angker, akan tetapi hal ini justru dijadikan tempat yang bersejarah bagi masyarakat Taiwan sebagai ladang wisata dan menghasilkan.  Ini sangat menarik, mereka mampu berpikir bagi hal-hal kecil seperti itu, kota mati pun dijadikan tempat bersejarah dan memperkenalkan sisi keunikannya dari sudut pandang lainnya dan menjadikannya sebagai bukti sejarah, juga bahan edukasi bagi siswa-siswa sekolah menengah disana.

Taiwan juga mengeksplorasi tempat-tempat lama yang tak berpenghuni lainnya seperti sebuah lapangan luas bekas rel kereta api bekas yang juga banyak diminati oleh para pengunjung, karena Taiwan mampu membungkusnya menjadi rapi sehingga mampu menarik minat para wisatawan. Saya berpikir bahwa dengan keterbatasan sumber objek wisata sejarah di Taiwan membuat pemerintah Taiwan begitu menghargai setiap apa saja yang menjadi peninggalan masa awal-awal mereka membangun Negara tersebut.

Tidak jauh  berbeda dengan Tanoh Aceh lon sayang, tanoh endatu pun memiliki warisan sejarah dan budaya yang sungguh luar biasa banyaknya. Mulai dari kerajaan-kerajaan di Aceh, kota-kota mati setelah tsunami yang telah dihidupkan kembali dan juga tempat peninggalan konflik, taman makam pahlawan dan lain-lain.
Tempat-tempat ini perlu di'permak' penampilannya  dan dipetakan kembali semua tempat tersebut agar terkesan unik dan menarik. Seandainya pemerintah daerah dengan serius lagi membangun semua aset ini akan berdampak positif  bagi  tampilan wajah Banda Aceh pasti pada kesuksesan program pemerintah di bidang pariwisata dan bisa dijadikan nilai daya tarik dan nilai jual kepada masyarakat luar untuk mengunjungi Aceh.

Termasuk menyediakan fasilitas pendukungnya maka saya rasa tidak perlu menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga untuk mengajak wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi Aceh, bukan hanya melalui program Visit Aceh 2013 ini, akan tetapi kecantikan, keunikan wjaah tanoh rencong itu akan “mempesona” hingga belahan dunia. Tunjukkan pada dunia, bahwa Tanoh rencong itu tidak  hanya dikenal karena konflik, GAM, musibah, akan tetapi tanoh rencong ini memang indah.
**
Zaujatul Amna Afganurisfa, mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh pendidikan master psikologi klinis dan konseling di Asia University - Taiwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar