Zaujatul Amna Afganurisfa | Mahasiswa Master Psikologi Asia University - Taiwan
Rabu, 02 Januari 2013 17:33 WIB
Bekas sekolah yang ditinggalkan di Wufong |
Republic of China atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Taiwan, sebuah negara di Asia Timur yang sebelumnya
berbasis di daratan Cina. Negara kecil ini luasnya hanya 2/3 Aceh. Taiwan
mengalami perubahan yang cukup drastis dan fantastik setelah kejadian gempa
bumi 1999 dimana mereka mampu berkembang pesat dengan dengan
keberhasilan-keberhasilan yang dimilikinya. Negara ini mampu bersaing di
tingkat international dan di akui keberadaannya terutama di bidang teknologi,
dimana Taiwan mampu bersaing ketat dalam bidang industri dan teknologi.
Dari segi ilmu pendidikan negara ini
mampu berdiri sejajar dengan Negara-negara lainnya, bahkan mampu meraih rating
dunia dalam tingkat pendidikan. Hal ini menjadikan Taiwan sebagai salah satu
negara terpandang dan banyak diminati oleh para turis dunia yang berkunjung ke
tanah Formosa itu (nama lain dari Taiwan).
Unik dan menarik, di Taiwan
terdapat dua kota yang tidak berpenduduk sama sekali dikarenakan berbagai
bencana sehingga kota tersebut di tinggalkan oleh penduduknya, kemudian kota
tersebut di kenal dengan sebutan “kota mati (dead city). Di
wilayah tengah negara Taiwan, terdapat sebuah kota bernama Wufong (dibaca
u-fong), di salah satu kota di wilayah Wufong tersebut di kenal sebagai kota
mati (dead city) yang telah di tinggal oleh para penghuninya sejak tahun 1999.
Semenjak tahun 1999 pasca gempa yang berkekuatan 8.9 SR warga desa meninggalkan
wilayah tersebut dan migrasi ke wilayah lainnya dengan alasan keselamatan dan
psikologis yang lebih baik. Uniknya, pemerintahan Taiwan tetap merawat desa
mati ini dengan dibangunkannya sebuah museum, yang dikenal dengan nama Museum
Gempa (earthquake’s museum).
Di kota yang berbeda, tepatnya
disebelah Utara Taiwan, juga terdapat sebuah kota mati, tepatnya di kota
San Zhi yang merupakan sebuah kawasan tempat tinggal yang futuristik.
Pada awalnya di kota tersebut direncanakan sebuah proyek untuk resort
yang mewah dan megah bagi “kaum kaya raya”. Menurut warga
setempat mengatakan bahwa selama proses pembangunan pernah terjadi gempa dan
mengakibatkan kecelakaan yang fatal pada masa pembangunannya, sampai
akhirnya pembangunan resort tersebut benar-benar dihentikan ditengah jalan.
Di kedua tempat inilah, awal mulanya
saya mengetahui banyak informasi tentang asal muasal kota mati ini. Hari itu
kami beserta professor belajar langsung ke lapangan tentang penanganan
psikologis pasca gempa bagi warga yang dulunya berasal dari kota mati. Mereka
meninggalkan rumah lengkap dengan segala perabotannya. Ketika saya dan
teman-teman sekelas berkunjung kesana, kami melihat rumah, kios dan
sebuah sekolah dasar yang telah lama di tinggal oleh para warganya. Hal ini
terlihat dari bangunan yang sudah di kelilingi rumput dan serat belukar
lainnya. Sekilas saya takjub dan berpikir Negara ini sungguh sangat kreatif,
mampu menjadikan segala sesuatunya “menghasilkan”. Pikiran saya pun tertuju
pada Nanggroe Endatu saya.
Pelajaran menarik adalah mereka
mampu menghidupkan kota mati ini sebagai salah satu tempat bersejarah dan
banyak di kunjungi oleh wisatawan manca Negara. Jika dilihat dari tampilan
bangunan yang sudah lama, sunyi, menakutkan dan terkesan angker, akan tetapi
hal ini justru dijadikan tempat yang bersejarah bagi masyarakat Taiwan sebagai
ladang wisata dan menghasilkan. Ini sangat menarik, mereka mampu berpikir
bagi hal-hal kecil seperti itu, kota mati pun dijadikan tempat bersejarah dan
memperkenalkan sisi keunikannya dari sudut pandang lainnya dan menjadikannya
sebagai bukti sejarah, juga bahan edukasi bagi siswa-siswa sekolah menengah
disana.
Taiwan juga mengeksplorasi
tempat-tempat lama yang tak berpenghuni lainnya seperti sebuah lapangan luas
bekas rel kereta api bekas yang juga banyak diminati oleh para pengunjung,
karena Taiwan mampu membungkusnya menjadi rapi sehingga mampu menarik minat
para wisatawan. Saya berpikir bahwa dengan keterbatasan sumber objek wisata
sejarah di Taiwan membuat pemerintah Taiwan begitu menghargai setiap apa saja
yang menjadi peninggalan masa awal-awal mereka membangun Negara tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan
Tanoh Aceh lon sayang, tanoh endatu pun memiliki warisan sejarah dan budaya
yang sungguh luar biasa banyaknya. Mulai dari kerajaan-kerajaan di Aceh,
kota-kota mati setelah tsunami yang telah dihidupkan kembali dan juga tempat
peninggalan konflik, taman makam pahlawan dan lain-lain.
Tempat-tempat ini perlu di'permak'
penampilannya dan dipetakan kembali semua tempat tersebut agar terkesan
unik dan menarik. Seandainya pemerintah daerah dengan serius lagi membangun
semua aset ini akan berdampak positif bagi tampilan wajah Banda Aceh
pasti pada kesuksesan program pemerintah di bidang pariwisata dan bisa
dijadikan nilai daya tarik dan nilai jual kepada masyarakat luar untuk
mengunjungi Aceh.
Termasuk menyediakan fasilitas
pendukungnya maka saya rasa tidak perlu menghabiskan banyak waktu, biaya dan
tenaga untuk mengajak wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi Aceh,
bukan hanya melalui program Visit Aceh 2013 ini, akan tetapi kecantikan,
keunikan wjaah tanoh rencong itu akan “mempesona” hingga belahan dunia.
Tunjukkan pada dunia, bahwa Tanoh rencong itu tidak hanya dikenal karena
konflik, GAM, musibah, akan tetapi tanoh rencong ini memang indah.
**
Zaujatul Amna Afganurisfa, mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh
pendidikan master psikologi klinis dan konseling di Asia University - Taiwan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar