Oleh Maria Magdalena Bhoernomo | Sabtu, 19 Januari 2013
Karya-karya sastra yang
sangat populer dan bahkan fenomenal ternyata mengangkat tokoh anak-anak.
Misalnya, dongeng-dongeng karya HC Andersen, novel serial Harry Potter karya JK
Rowling dan kumpulan cerpen Palestine's Children karya Ghassan Kanafani menjadi
karya best seller tingkat internasional karena mengangkat tokoh anak-anak. Begitu
juga novel Laskar Pelangi dan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang
menjadi best seller, karena mengangkat tokoh anak-anak.
Fakta tersebut
menunjukkan bahwa sastra dengan tokoh anak tidak bisa diremehkan. Dengan kata
lain, sastra dengan tokoh anak ternyata memang penuh pesona, karena hadirnya
tokoh anak-anak dengan keistimewaan-keistimewaan yang sudah pasti sangat
menarik. Pembaca terpuaskan karena seolah-olah berjumpa dengan narasi dan
deskripsi tentang dunia anak-anak yang maha indah. Keterpesonaan pada narasi
dan deskripsi tokoh anak-anak dalam sastra, bagi kalangan pembaca dewasa
khususnya, juga bisa saja menjadi suatu pengalaman imajinatif yang paling indah
dalam kehidupannya. Ini berdasarkan banyak fakta bahwa masa kanak-kanak adalah
sorga yang hilang bagi banyak orang yang sudah dewasa. Pengalaman menemukan
sorga yang hilang, betul-betul menyenangkan bagi pembaca sastra yang mengangkat
tokoh anak-anak. Hal ini sudah tentu telah dimengerti oleh penulisnya. Dan oleh
karenanya, penulis sastra dengan tokoh anak umumnya sengaja memilih bahasa yang
simpel tapi unik dan puitis agar mudah dicerna tapi sulit dilupakan oleh
kalangan pembacanya di segala usia. Misalnya, frasa-frasa dalam novel Laskar
pelangi banyak yang puitis tapi simpel sehingga mudah dicerna oleh kalangan
pembaca segala usia. Dan adanya kosakata-kosakata baru juga disertai dengan
penjelasan artinya sehingga pembaca tak perlu salah paham atau kesulitan
memahaminya.
Sastra dengan tokoh anak
memang penuh pesona dan tidak bisa diremehkan, karena ditulis dengan mematuhi
norma-norma sastra konvensional. Misalnya, alur cerita jelas, deskripsi
penokohannya tegas dan seting atau latarnya bernas. Dengan demikian sastra
dengan tokoh anak bukan termasuk fiksi yang gelap atau remang-remang yang
syarat multitafsir.
Bagi kalangan kritikus
sastra, boleh saja menilai sastra demikian cenderung lemah secara leterer.
Maksudnya tentu lemah dalam hal eksporasi ide dan imajinasi liar yang memberi
peluang seluas-luasnya bagi pembaca untuk mencoba menafsirkannya. Tapi
kelemahan leterer tidak serta merta layak dijadikan vonis untuk merendahkannya.
Selama ini, kalangan kritikus sastra memiliki kecenderungan sikap seperti pria
hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi pelacuran. Mereka selalu datang
dengan satu harapan: semoga ada yang baru. Harapan demikian telah menghapus
sikap apresiatif terhadap semua yang telah menjadi bagian masa lalu atau
menjadi barang lama. Sikap seperti pria hidung belang tentu bukan milik pembaca
awam. Dengan kata lain, bagi pembaca awam, setiap membaca sastra bertokoh anak
adalah kesempatan berwisata ke "sorga yang hilang" dengan cerita dan
tokoh lain tapi bukan baru. Dan lazimnya, sastra yang disukai pembaca dewasa
adalah yang bisa mengajak berfantasi menikmati masa kanak-kanak yang indah. Dengan
norma sastra yang serba konstan, sastra dengan tokoh anak tidak perlu
ditimbang-timbang berat ringannya dengan rumus-rumus leterer yang terlalu
rumit. Bahkan, sastra demikan tidak selayaknya dibandingkan dengan sastra
remaja atau dewasa yang sengaja ditulis dengan semangat propaganda terhadap
nilai-nilai atau ideologi sosial politik tertentu. Meski demikian, sastra
dengan tokoh anak bukan berarti pepesan kosong yang tak berisi propaganda atau
misi. Bahkan sastra demikian umumnya ditulis dengan semangat menawarkan misi
kemanusiaan yang abadi (humanisme universal) sehingga akan tetap relevan
menjadi bacaan untuk semua generasi.
Sastra dengan tokoh anak
memang mempesona dan tidak bisa diremehkan, tapi faktanya sering diabaikan oleh
kalangan kritikus sastra. Dan sejauh ini, banyak karya sastra demikian belum
mendapat respon proporsional dari kalangan kritikus sastra yang kredibel.
Kesannya kemudian selalu klise: bahwa kalangan kritikus sastra bagaikan hidup
di menara gading yang tak mudah tergiur riuhnya dunia di sekelilingnya. Dengan
kata lain, kalangan kritikus sastra cenderung antipati terhadap apresiasi yang
telah ditunjukkan oleh khalayak. Bahkan seolah-olah selera khalayak yang
terpesona kepada sastra bertokoh anak dianggap tidak penting dan tidak mampu
mendorong kritikus untuk menulis kritik yang proporsional untuk sastra anak.
Layak dicurigai, betapa
kecenderungan antipati terhadap sastra bertokoh anak bisa jadi sengaja dipilih
oleh kalangan kritikus sastra untuk tetap mempertahankan hegemoni nilai-nilai
tertentu meski nyata-nyata berseberangan dengan selera khalayak. Dalam hal ini,
selera khalayak akan cenderung dianggap rendah dan tidak layak dicatat dan
diapresiasi. Efeknya, sudah pasti akan merugikan dunia sastra secara
keseluruhan. Misalnya, sastra yang baik menurut kritikus sastra bisa jadi tidak
menarik bagi khalayak, sehingga jarang ada karya sastra yang berkualitas
menjadi best seller. Dengan demikian, antipati terhadap sastra bertokoh
anak-anak tidak selayaknya dipertahankan oleh kalangan kritikus sastra. Sudah
saatnya sastra demikian juga dikritik secara proporsional sehingga dunia sastra
menjadi cerah di masa-masa mendatang.
*) Maria Magdalena
Bhoernomo, Penikmat sastra, tinggal di Kudus, Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar